Siaran Bae

Selasa, 24 April 2012

MEMBANGKITKAN KARAKTER BANGSA INDONESIA



Sudah 103 tahun yang lalu euphoria titik ledak kebangkitan bangsa Indonesia berlangsung. 20 mei 1908 sebagai saksi perubahan konsepsi perjuangan dalam memperebutkan kemerdekaan. Lahirnya berbagai gerakan pemersatu seluruh elemen bangsa Indonesia menjadi tumpuan cita-cita yang pada waktu itu menjadi angan-angan belaka yaitu Sebuah kata Merdeka. Namun sekarang makna merdeka hanyalah sebuah kata tanpa makna, bagaimana tidak, penghormatan terhadap para pahlawan yang sudah gugur mulai terkikis akibat penurunan degradasi moral serta karakter yang dipengaruhi dunia barat. Akibatnya bangsa Indonesia sendiri lupa terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk social.
Memaknai kebangkitan nasional sebagai titik ledak semangat kemerdekaan pada saat ini  adalah sebuah perubahan yang tertumpu pada tiga aspek:
Pertama pendidikan karakter, permasalahan bangsa Indonesia saat ini adalah hilangnya karakter dalam membangun jati diri bangsa. Akibatnya asas gotong royong yang selama ini tertanam dalam setiap jiwa bangsa Indonesia pudar seiring perkembangan zaman. Padahal kemerdekaan Indonesia terjadi karena semua elemen masyarakat bahu-membahu dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah. Ini yang sudah langka terlihat dalam setiap pribadi bangsa. Sehingga harus mulai kembali menanamkan karakter asli bangsa Indonesia yang berasas gotong royong serta kekeluargaan.
Kedua  mencintai Indonesia seutuhnya, bangsa Indonesia seakan lupa kalau sesungguhnya memiliki kekayaan yang sangat melimpah dan menjadi incaran penjajah hingga sekarang karena ketidakcintaannya terhadap Indonesia. Padahal bila dimaksimalkan dengan baik, mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Beberapa dimanfaatkan dengan baik, hanya saja oleh orang pribumi individualis bahkan lebih parah oleh pihak asing. Hal ini menjadikan  masyarakat Indonesia seakan tidak memiliki apa-apa, kekayaan alam yang ada di negeri ini seperti fatamorgana.
Ketiga menggunakan produk dalam negeri, sekarang ini produk asing sudah merajai pangsa pasar negeri ini. pasar tekstil 80%,  farmasi 80%, teknologi 92%, bahkan air minum 93% yang semuanya itu dikuasai pihak asing. Keuntungan yang diperoleh tidak masuk kas Negara atau meningkatkan perekonomian masyarakat kita,  justru menjadi pemasukan Negara asing. Lantas siapa yang membuat mereka maju??? Kita juga yang menjadikan produk-produk asing merajai pasar di Indonesia karena kita lebih senang menggunakan produk asing sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Apalagi dengan jumlah penduduk 230 juta jiwa pada sensus penduduk tahun 2010 menjadikan peluang besar bagi pihak asing untuk memanfaatkan kita sebagai konsumen produk-produknya. Hal ini membuat entrepreneur di Indonesia kewalahan dalam bersaing karena kalah dalam promosi ditambah dengan masyarakat yang seakan mremehkan hasil karya bangsa sendiri dengan tidak menggunakan produk dalam negeri. Padahal bila banyak entrepreneur yang kuat di Indonesia akan mampu meningkatkan perekonomian bangsa Indonesia.

Ketiga aspek diatas saling berkaitan karena langkah pertama yang harus dibentuk adalah karakter sebagai bangsa Indonesia agar dapat mencintai Indonesia seutuhnya dan bangga menggunakan produk dalam negeri. hal ini harus dimulai dari yang kecil agar lambat laun akan tumbuh menjadi perubahan yang besar. Dimulai dari diri sendiri, kemudian ditularkan kepada orang lain agar Indonesia mampu bangkit dari keterpurukan dan kembali menjadi macan asia yang ditakuti oleh seluruh penjuru dunia.

Minggu, 22 April 2012

PROFESIONALISME GURU TERGADAIKAN


Kurikulum dan Sistem pengajaran merupakan salah satu unsur pendukung keberhasilan dalam proses belajar-mengajar. Namun ada hal terpenting yang sangat menentukkan keberhasilan tersebut, yaitu tenaga pendidik atau lebih dikenal dengan sebutan guru. Sosok yang sering berinteraksi dalam pembelajaran ini sebagai cerminan terhadap keberhasilan siswa dalam menguasai suatu materi yang disampaikan dan pengajaran yang merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas. Tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya
Sekarang ini tidak sedikit orang yang berebut kursi untuk menjadi guru pns karena diiming-imingi gaji yang besar dan tetap. Sedangkan untuk mendapatkan status sebagai pns harus memenuhi syarat, diantaranya minimal lulusan D3/S1 dan harus mengikuti seleksi tes cpns yang tidak menutup kemungkinan tes tersebut hanya sebagai formalitas bagi orang-orang yang sudah memesan terlebih dahulu kursi, bahkan sudah dipastikan mendapatkan jatah kursi pns tersebut dengan berbagai cara yang dilakukan sebelum proses tes berlangsung. Itu memang hal yang sering terjadi ketika persaingan menjadi tolak ukur untuk mencapai sesuatu. Sehingga ini berdampak pada siswa yang seharusnya mendapatkan hak memperoleh pendidikan yang layak sebagai warga Negara Republik Indonesia tidak terpenuhi dengan baik. Padahal dalam pasal 39 UU No 20/2003 dijelaskan tugas guru yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat
Pendidikan yang layak itu selain mencakup dari sarana dan prasarana, juga tenaga pendidik yang memang layak dan mampu membimbing sekaligus mengarahkan siswa dalam pemahaman terhadap sebuah  materi ajar. Sering terlupakan bahwa keberadaan guru dikelas hanya dijadikan formalitas atau menggugurkan kewajiban  karena telah mendapat gaji dari pemerintah (red-asalnya dari rakyat), bukan sebagai bentuk pengabdian diri untuk mengarahkan, membimbing, maupun mengawasi siswa agar menjadi warga Negara yang cerdas dan dapat membangun negeri menjadi lebih baik.
Kurangnya tanggung jawab itu akibat kebutuhan untuk keberlangsungan kehidupan yang semakin meningkat, tidak diimbangi dengan penghasilan yang memadai. Hasilnya, kinerja guru kurang maksimal atau bahkan mencari pekerjaan lain untuk menambah penghasilan yang tidak bisa mengharapkan gaji tetap untuk memenuhi kebutuhan 100%.  Ada sebagian guru harus mengajar dibeberapa tempat yang berdampak pada ketidakfokusan dalam mengajar walaupun tujuannya baik untuk menambah penghasilan. Selain itu, ada juga yang menjadi tukang ojeg sebagai pekerjaan sampingan diluar aktifitas mengajarnya, memberi les pada sore hari, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya. Yang lebih parah bila pada saat jam mengajar, justru bekerja dilain tempat dengan memberikan semacam tugas kepada siswanya. Disisi lain itu adalah hal wajar, tapi keputusan menjadi seorang tenaga pendidik, apalagi terikat dengan status (red-PNS) berarti sudah komitmen untuk siap mengabdikan diri menjadi tenaga pendidik dengan aturan yang berlaku.
Disini peran pemerintah sangat berpengaruh terhadap kondisi tersebut, karena sebagain besar masalah diakibatkan oleh kurangnya penghasilan dari hasil mengajar. Ini menjadi renungan untuk bisa dicari jalan keluarnya agar permasalahan klasik tersebut dapat diselesaikan. Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 dalam UU  sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Meningkatkan penghasilan mungkin bisa menjadi solusi, tapi sifat ketidakpuasan manusia dengan sesuatu yang  telah diperolehnya menjadi hal yang harus menjadi rujukan untuk menjadikan solusi tersebut sebagai satu-satunya yang dapat terealisasi. Selain itu, ketika pendapatan menjadi tenaga pendidik yang berstatus PNS meningkat, akan memacu persaingan yang lebih besar lagi untuk memperebutkan status itu. Bahkan segala cara bisa dilakukan agar mendapatkan status tersebut.
Perlu merapihkan  kembali tatanan kependidikan di Indonesia agar mampu menghasilkan tenaga pendidik yang dapat memberikan kontribusinya dalam Pengembangan akhlak dan moral yang sangat diperlukan siswa untuk menjaga diri dari kerusakan terutama di Era globalisasi ini, seperti pergaulan yang semakin bebas tanpa batas. Kalau tidak kuat pertahanan diri pribadi (akhlak), maka akan terjerumus dan melakukan perbuatan yang tidak semestinya. Disinalah salah satu peran guru untuk bisa mengarahkan siswanya, apalagi pada saat di sekolah peran guru sebagai orang tua harus mampu berperan layaknya orang tua kandung siwa tersebut. Seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang sekarang ini sudah mengalami penurunan kualitas dengan melihat keadaan Negeri ini yang tidak kunjung membaik dari segi perekonomian, pembangunan, maupun kesejahteraan. Keadaan tersebut sedikit atau banyaknya diakibatkan peran guru yang kurang mampu membimbing dan mengarahkan siswanya menjadi lebih baik dari segi akhlak,moral ataupun pengetahuan. Ini penting karena siswa akan berevolusi menjadi pemuda The Agent Of Change (Agen Perubahan), yaitu pemuda yang mampu merubah tatanan Negeri menjadi lebih baik. Semangat para guru buktikan bahwa Engkau adalah Pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.
 Denis Khawarizm

Sabtu, 21 April 2012

TUHAN SAJA YANG BAIK


            Ombak begitu tingginya pagi itu, lambaian angin seperti tangan yang mencengkeram siapa saja yang mendekatinya. Bahkan angin mulai mencari korban cengkramannya sebagai sesembahan pengabdiannya. Namun  tidak ada satupun orang yang berani keluar dari gubuk-gubuk kayu jati berdinding bilik, atau sekedar menengokkan mukanya. Sangat sepi tidak seperti biasanya, hilir mudik nelayan yang biasanya membawa hasil tangkapan semalam tidak terlihat. Mungkin cuaca yang sedang tidak bersahabat atau marah melihat tingkah laku manusia yang tidak mau bersyukur.
**********
            Penduduk berkerumun di tepi pantai, memang matahari sudah mulai memperlihatkan kecantikannya. Setelah bersembunyi ketakutan melihat air langit berjatuhan dengan ganas tanpa memandang siapapun. Sesosok pemuda lusuh dengan robekan disetiap bajunya, terbaring kaku. Penduduk belum bisa memastikan dia masih hidup atau sudah menjadi mayat yang siap untuk dihanyutkan sebagai persembahan warga kepada Sang Pemilik Laut.
            Kepala dusun yang hanya bersarung menghampiri pemuda itu, menatap tajam dan menempelkan tangannya pada daerah denyut nadi. Beberapa kali dicari tetap saja tidak ada tanda-tanda dia masih hidup. Beranjak ke hidung dan mencoba merasakan ada atau tidaknya udara yang keluar dari hidungnya.
“Pemuda ini sudah tidak bernapas”  teriak kepala dusun.
“Cepat, ambil perahu di ujung sana!”
Kepala dusun menatap Arman, salah satu penduduk yang dari tadi paling depan menyaksikan pemuda itu.
“Cepat, kau ambilkan perahu itu!”
“Ba… baaaaiiik pa, tunggu sebentar.”
Arman pergi meninggalkan kerumunan penduduk sambil berlari hendak mengambil perahu yang terpaku sejak beberapa hari yang lalu. Pikirannya melayang-layang memikirkan perintah Kepala Dusun itu. Pertanyaan-pertanyaan yang secara sengaja mulai mengganggu pikirannya. Dia bingung untuk apa perahu itu, padahal ada seorang pemuda yang entah sudah mati atau masih sekarat butuh pertolongannya. Kondisi laut saat itu sangatlah tidak bersahabat, ombak belum lelah menari-nari. Tidak mungkin pergi ke kota yang ada hanyalah memberikan nyawa kepada laut.
Sesampai ditempat penepian perahu langsung saja dibuka pengikatnya dan menariknya menuju pemuda itu. Nafas yang sudah tidak teratur tetap memaksa menyelesaikan tugas Kepala Dusun. Siapapun tidak ada yang berani dengan dia. Keberaniannya menghadapi terjangan ombak paling ganas di usia yang belum beranjak 15 tahun hanya untuk menyelamatkan temannya yang tenggelam. Setelah berhasil menyelamatkan temannya, dia pun langsung mendapat sanjungan dari semua penduduk.
Di usia 17 tahun, penduduk mempercayakan pimpinan tertinggi di daerah tersebut. Bukan tanpa sebab, melainkan keberaniannya yang melebihi orang-orang dewasa. Sikap menolongnya yang tinggi tanpa melihat status atau apapun memperkuat keyakinan penduduk untuk memilihnya sebagai Kepala Dusun. Sebuah jabatan yang terlihat kecil, tapi penduduk begitu patuh dengan perintahnya. Bagi mereka melaksanakan perintah dari pemimpin adalah kepatuhan yang mutlak harus dijalankan. Bukanlah persoalan bagi mereka karena selama ini tidak ada satu pun perintah yang menyengsarakan atau merugikan.
Awal massa kepemimpinannya, Kepala Dusun itu langsung melakukan gebrakan dengan menjalankan tugas secara telaten. System perekonomian yang mulai dibangun, ketahanan pangan yang langsung digalakkan. Tidak hanya membuat senang tetapi membuat heran seluruh penduduk. Seorang pemuda umur 17 tahun sudah mengerti perekonomian dan ketahanan pangan. Namun tidak ada satupun yang berani menanyakannya.
**********
Arman sekuat tenaga membawa perahu, penduduk lain mulai berhamburan membantunya. Kepala Dusun langsung mengangkat pemuda itu. Perahu mulai di arahkan ke laut untuk membawa  pemuda tersebut menuju kota.
“Siapa yang mau ikut saya? Dia masih bisa hidup.”
Menatap setiap penduduk dengan penuh ketergesaan, lama tidak ada jawaban. Jelas saja tidak ada yang berani, melihat ombak yang masih ganas untuk dilewati. Langsung saja dibawa pemuda ke kota untuk berobat kekota karena belum adanya dokter didaerah tersebut.
Penduduk heran dengan sikap Kepala Dusun yang berkata pemuda itu sudah tidak bernafas, justru hendak dibawa kekota dan berobat disana.  Bahkan yakin kalau dia masih bisa hidup.  Keheranan penduduk tidak berlangsung lama, melihat seringnya Kepala Dusun melakukan hal-hal yang aneh.
Seminggu berselang Kepala Dusun tiba di kampungnya dengan membawa pemuda yang terlihat lebih baik dibandingkan ketika terbujur kaku seminggu yang lalu. Penduduk berhamburan menolong Kepala Dusun dan pemuda tersebut. Tangan pemuda  disandarkan pada kain yang diikat pada bahunya. Kemudian dibantu oleh penduduk kerumah Kepala Dusun. Sesampainya dirumah, rebahanlah pemuda itu dengan kondisi badan belum begitu bugar.
Malam hari, seperti biasanya sebagian penduduk sudah mulai bernelayan karena ombak sudah mulai tenang. Penduduk berkeyakinan ombak kembali bersahabat setelah dikalahkan oleh Kepala Dusun. Namun tidak ada satu pun yang berani memastikan kebenarannya dan hanya menjadi topic pembicaraan penduduk.
Pemuda itu bangun dari tidur lelap sejak tadi siang. Untuk bangun masih harus dibantu. Sejak tadi Kepala Dusun menungguinya, meninggalkan kebiasaan tugasnya yang tidak pernah absen mengontrol sekitaran rumah penduduk. Berbeda kali ini, tubuhnya tidak beranjak dari kursi tua semenjak tertidurnya pemuda itu.
Beberapa hari berselang, kondisi badan pemuda itu mulai membaik. Tangannya sudah beranjak sembuh. Bahkan mampu membantu penduduk sekitar memotong kayu untuk bahan bakar sehari-hari. Sementara Kepala Dusun kian hari semakin berkurang keceriannya, terlihat jelas dimatanya ada rasa kegelisahan dan ketakutan.
“Pak, saya sudah mulai membaik”
Pemuda itu mengagetkan lamunan Kepala Dusun.
“Bagus kalau begitu, jangan terlalu banyak gerak. Tangan Kau belum sembuh betul itu.”
“Siap pak, oh iya saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Sartana.”
Kepala Dusun kaget dan terlihat sangat gelisah.
“Sartana……. Hmmmm nama yang cukup bagus.”
Sartana beranjak menuju rumah Kepala Dusun dan mencari sesuatu yang hilang miliknya.
“Kotak itu ada didalam lemari, ambil saja pasti kamu mencari barang itu.”
Suara yang tidak begitu tegas mengagetkan pencarian Sartana.
Tanpa berpikir panjang diambilah kotak berukuran sedang yang masih lengkap dengan kain penutupnya. Kemudian Sartana menceritakan betapa berharganya kotak itu. Kotak yang  berisi sebuah pisau merupakan titipan dari orang tuanya ketika hendak meninggal dunia. Mereka meminta untuk membalaskan dendamnya kepada orang yang sudah menghancurkan hdiup orang tua Sartana, bahkan sampai membunuhnya. Sebelum meninggal ibu Sartana sempat memberikan pesan. Malam sudah sangat larut, sehingga cerita pun terpaksa dihentikan dan mereka tertidur dalam satu ranjang.
Pagi terasa begitu bersahabat, kicauan burung dari tadi menghantarkan nelayan yang baru tiba dari laut dengan membawa segala macam ikan untuk dijual. Matahari sudah tidak malu lagi memancarkan cahayanya hingga menembus jendela terbuka rumah Kepala Dusun. Cahayanya yang masuk membangunkan tidur Sartana, dia sudah tidak melihat Kepala Dusun. Biasanya Kepala Dusun setiap pagi mengontrol pasang surut air laut. Entah dengan mantera atau ilmu yang tidak satupun penduduk tahu, Kepala Dusun mampu menenangkan laut seganas apapun.
Sartana menghampiri Kepala Dusun sekaligus hendak berpamitan untuk meneruskan perjalanannya. Kepala Dusun tidak bisa memaksa dia untuk tetap tinggal bersamanya, walaupun terlihat berat untuk berpisah. Sartana sudah seperti saudara kandungnya sendiri yang lama tidak berjumpa.
Perjalanan Sartana tanpa arah tujuan, setiap penduduk yang ia temui selalu ditanya dengan pertanyaan yang sama.
“Pa, tahu atau pernah mendengar laki-laki yang bernama Patrajasa?”
Ketika bertemu dengan seorang lelaki separuh baya.
“Maaf nak, bapak belum pernah mendengar nama itu”
Beberapa kampung sudah ia lewati dan selalu saja jawabannya sama ketika ditanya tentang lelaki bernama Patrajasa. Sempat putus asa dan hendak kembali ke tempat asal untuk melanjutkan kehidupannya. Namun hal itu urung dilakukan setelah bertemu dengan seorang kakek yang sempat ia Tanya tentang Patrajasa. Setelah mengucapkan terima kasih pada kakek tersebut, lantas ia langsung berlari dengan sekuat tenaga menuju perkampungan yang telah menyelamatkan hidupnya.
Malam kali ini begitu hening, bulan ataupun bintang tidak memperlihatkan sedikitpun kecantikannya. Semua langit tertutup awan hitam yang siap menghantam siapa saja dengan air hujannya. Tidak ada penduduk yang lalu-lalang, mungkin malam sudah sangat larut. Sartana kembali kerumah Kepala Dusun dan menancapkan pisaunya kepada Kepala Dusun yang sedang tertidur lelap.
**********
ketika keputusasaan Sartana memuncak mencari orang yang hendak ia bunuh, pada saat itu juga ia di ketemukan dengan seorang kakek yang sedang lewat. Tanpa basa-basi Sartana langsung menanyakan pertanyaan yang sama dari setiap orang. Sempat ia berfikir pasti jawabannya akan sama dengan penduduk yang lain. Namun tidak disangka-sangka kakek itu tahu siapa Patrajasa dan keberadaannya sekarang. Kakek itu lalu menceritakan bahwa Patrajasa adalah warga seberang timur yang terbawa arus hingga sampai kepulau ini. keberaniannya sangat terkenal seantero pulau ini. sekarang dia menjabat sebagai pemimpin dikampung sebelah utara pantai. Kaget bukan main ketika mendengar penjelasan kakek itu. Karena kampung tersebut telah menyelamatkan nyawanya, bahkan Patrajasa yang ia cari adalah Kepala Dusun itu.
Emosi yang semakin memuncak menutupi kebaikan yang sudah dilakukan oleh Kepala Dusun, bahkan Sartana tidak menanyakan kebenaran kepada kakek itu serta ketidaktahuan warga terhadap Patrajasa yang sebenarnya mereka sangat tahu. Pesan ibunya terus terngiang-ngiang, pesan sebelum tiba kematian kedua orang tuanya. Pesan singkat yang berisi:
“Nak, kamu adalah satu-satunya anak kami, tolong balaskan dendam kami kepada Pramunti dan keluarganya. Mereka telah mengambil harta dan kehidupan kita. Itu akan membuat kami tenang disana.”
Dalam pikiran Sartana tidak ada kata apapun kecuali pesan dari ibunya, sesampainya dikampung tersebut langsung ia bunuh Kepala Dusun.
Sebelum mati kepala dusun mengucapkan sebuah kalimat dengan terbata-bata:
“Sartana, Aku sebenarnya sudah tahu kedatanganmu kesini. Aku sudah mulai khawatir karena engkau akan membunuhku. Aku tahu Pramunti dan suaminya sudah mati dan Kau akan membunuh anaknya, yaitu yang bernama Mandula Patrajasa. Dan itu Aku.”
“Lantas kenapa Aku harus membunh orang baik sepertimu?”
 “Karena Pamunti telah mengambil harta terbesar orang tuamu, yaitu Aku.”
 “Maksudmu?”
“Aku sebenarnya adalah kakak kandungmu yang diambil paksa oleh Pramunti, karena sejak kecil dia mengasuhku, maka Aku tidak pernah mau disentuh oleh orang tuamu. Padahal mereka telah melahirkanku. Setelah Pramunti membunuh orang tuamu lantas kabur menyeberangi pulau dan ditengah perjalanan perahu itu oleng dan kami tenggelam. Hanya Aku saja yang masih hidup.”
“Kenapa penduduk tidak mengenal namamu, Patrajasa?”
“Aku memperkenalkan diri dengan nama Mandula, hidupku sudah akan berakhir. terimalah permintaan maaf Kakakmu ini yang tidak terus terang ketika Kau datang pertama kali kesini.”
Hujan turun begitu deras bersamaan suara petir yang memekikkan telinga. Ketika itu pula Mandula Patrajasa atau Kepala Dusun itu menghembuskan nafas terakhirnya.
Sartana begitu menyesali perbuatannya yang tidak berfikir matang dan hanya mementingkan emosi semata. Air matanya membasahi kepala Kakaknya itu, padahal sebelumnya ia berpikir bila telah membalaskan dendam orang tuanya tentu ia adalah orang yang sangat baik. Dalam penyesalannya dengan suara lirih ia berkata: “Ternyata hanya Tuhan saja yang baik.”
 Oleh: Denis Khawarizm