Setiap mahasiswa tentu akan senang sekali mendapatkan beasiswa, yaitu
“bantuan” yang diberikan secara tunai (bukan BLT programnya pemerintah) atau
melalui rekening. Apapun itu tentu saja menyenangkan. Sama-sama mendapatkan
uang untuk membayar kuliah, beli buku, membayar kosan, makan, atau mentraktir
pasangannya (ga harus pacar, mungkin sahabat atau saudaranya). Gw pun merasakan
hal yang sama, apalagi bukan berasal dari keluarga kalangan menengah ke atas.
Bagi mereka yang amat sangat tercukupi tentu saja beasiswa bukanlah sebuah
prestasi atau sesuatu yang perlu dikejar. Bagi gw beasiswa adalah modal hidup
dikampus.
Beasiswa meringankan beban pikiran yang selama ini menghantui disetiap
kondisi, terutama bila berhadapan dengan apapun yang mengharuskan keluar banyak
uang. Kuliah pun akan lebih focus serta termotivasi karena dengan IP besar
mampu mempertahankan beasiswa tersebut.
Beasiswa terkadang melemahkan bagi orang-orang yang tidak sadar fungsi
adanya beasiswa itu sendiri. Termasuk dengan gw, seharusnya beasiswa yang gw
dapetin mampu menyadarkan untuk lebih serius kuliah. Minimal tidak pernah bolos
kecuali sakit yang mengharuskan istirahat total. Serta mampu meningkatkan
prestasi akademik, minimal IP diatas 3,5. Justru gw semakin berani untuk
mem-bolos kuliah dengan memilih mengikuti kegiatan-kegiatan seperti pelatihan,
Training Of Trainer atau lomba non akademik.
“Ah, kuliah udah dibiayain ini. ga perlu khawatir. Yang penting IP 3
sudah aman.”
Benar atau salah silahkan dinilai sendiri, bagi gw IP bukanlah sebuah hal
yang cukup menarik untuk dikejar. Sekalipun pernah baca dalam sebuah buku
“Jangan Kuliah Kalo Ga Sukses” ada lulusan Teknik Informatika ITB dengan IPK 4
mengatakan:
“Jikalau IP bukan suat hal yang besar, apakah layak mendapatkan amanah
yang lebih besar bila dengan hal yang kecil saja GAGAL.”
Sempat kalimat itu terngiang-ngiang dalam pikiran kemudian masuk dalam
hati dan disebarkan oleh darah keseluruh tubuh. Hanya beberapa saat saja.
Motivasi gw untuk bisa mengelilingi Indonesia yang kaya akan segalanya menutupi
semua nasihat-nasihat dari siapapun yang mengharuskan gw dapet IP besar.
Kembali lagi kepada beasiswa, dalam benak gw yang paling dalam serta
propokasi dari salah satu dosen. Beasiswa seolah membungkam mahasiswa untuk
bebas mengekspresikan dirinya ketika melihat ketidakbenaran berlarian bebas
dihadapan gw. Seperti satria baja hitam yang gagal berubah gara-gara lupa
mantera akibat dipengaruhi monster “lupa”. Begitu juga dengan mahasiswa yang
sengaja dibuat lupa dengan idealismenya sehingga diam tanpa berbuat apapun
karena sudah nyaman di fasilitasi oleh kampus, yaitu beasiswa. Seperti halnya
salah satu tokoh di film “GIE” yang sangat idealis ketika menjadi mahasiswa,
bahkan cukup kritis melihat “ketidakharmonisan” pemerintahan di massa orde
lama. Aksi dijalan dilakukan, membuat selembaran kritikan seolah kewajiban. Namun
setelah lulus dan masuk menjadi anggota dewanh kemudian diberikan berbagai
fasilitas. Bungkamlah dia.
Gw sendiri seperti halnya satria baja hitam, namun bisa berubah bila mau
memilih resiko dengan perubahan yang dilakukan. Dan ini yang gw pilih.
“Bermula dari kegiatan demokrasi kampus, yaitu pemilihan Presiden
Mahasiswa. Terdapat 3 calon pasangan. Setelah berakhir pemilihan terpilihlah
pasangan Juhri-Bayu sebagai Presma. Namun ada beberapa hal yang membuat mereka
digagalkan sebelum pelantikan. Sehingga disahkan pasangan Sandra-Haedi yang
terpilih. Pada akhirnya kedua pasangan tersebut bersiteru dengan berbagai gaya
masing-masing. Saling mempertahankan dan mengakui dirinya Presma. Hingga tiba
waktunya mahasiswa baru berdatangan. Ospek universitas pun dijalankan. Namun
tanpa diduga pada acar pembukaan terjadi keributan dua pasangan presema
tersebut yang membuat beberapa mahasiswa terluka.
Siangnya gw dating kekampus hendak melihat kondisi ospek. Maklum lagi
mendapat amanah sebagai Ketua Pelaksana Ospek fakultas. Berbekal informasi dari
beberapa pihak membuat gw dan beberapa teman lainnya menarik mahasiswa baru
(maba) FKIP untuk tidak melibatkan diri di Ospek universitas. Keributan kembali
terjadi karena panitia ospek universitas tidak mengizinkan maba FKIP menarik diri dari ospek Universitas.
Sedang gw khawatir bila maba FKIP tidak menarik diri aka nada lagi korban
selanjutnya akibat dua pasangan yang bersitegang.
Beberapa bulan kemudian, pembagian beasiswa PGN di bagikan secara tunai.
Setiap mahasiswa yang berhak mendapatkannya diharuskan hadir untuk mengambil
langsung. “Kecuali Deni Setiadi, silahkan mengambil beasiswa tersebut.” Begitu
salah satu pegawai kemahasiswaan berbicara.
“Deni. Beasiswa kamu ditahan sampai menyerahkan berkas permohonan maaf
karena telah melakukan penarikan massa ketika acara ospek universitas. Kamu
harus meminta maaf kepada Rektor, PR3, Kabag Kemahasiswaan, serta panitia ospek
universitas. Dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangi mereka”
Bagi gw minta maaf bukan suatu hal yang sulit dilakukan, sebelum mereka
menyuruh meminta maaf. Gw sendiri sudah melakukannya. Karena dikhawatirkan
mempunyai kesalahan selama berinteraksi dengan mereka. Namun gw diharuskan
meminta maaf karena melakukan penarikan maba FKIP. Tentu ukan karena gengsi gw tidak menuruti
kemauan mereka. Apa yang dilakukan dulu merupakan sebuah hal yang benar bagi
gw. Demi keamanan dan keselamatan maba FKIP yang pada saat itu gw sendiri
mempunya tanggung jawab untuk menjaga mereka.
Berbagai masukkan dan interpensi akhirnya mengharuskan gw meminta maaf,
dan uang itu pun diberikan. Entah ini nasihat atau ancaman, namun bagi gw lebih
ke sebuah masukan untuk tidak banyak berperilaku tidak menyenangkan menurut
mereka yang bisa merugikan atau menurunkan grade mereka.
“Awas saja, kalau merusak atau mengganggu lagi acara kampus. Beasiswa
siap-siap diputus.”
Namun itu tidak terjadi untuk kali ini. sempat terjadi kesalahan data IPK
dimana gw yang seharusnya IPK diatas 3 justru tercantum di Pusat Data dan
Informasi (Pusdainfo) dibawah 3. Sebenarnya tinggal gw hubungi pusdainfo dengan
memperlihatkan bukti bahwa IPK gw diatas 3 cukup menyelamatkan untuk tetap
mendapat beasiswa PGN. Ah, lagi-lagi idealisme muncul yang membuat gw belum
merubah kesalahan data tersebut.
“Biarlah tidak dapat beasiswa lagi, setidaknya mengurangi beban gw
terhadap pemberi beasiswa dan membebaskan diri untuk bebas berekspresi serta
kritis ketika ketidakbenaran itu kembali ada tanpa takut ancaman pencabutan
beasiswa.”
Denis Khawarizm